TAHTA SUCI DAN PEMILIHAN PAUS
Dalam liputan berita mengenai pemakaman
Paus Yohanes Paulus II dan juga conclave, istilah “Tahta Suci” seringkali
disebut. Saya yakin yang dimaksudkan adalah paus dan Vatican. Benarkah
demikian? Mohon penjelasan.~ seorang pembaca di Springfield
Istilah Tahta Suci berasal dari bahasa Latin Sancta Sedes, artinya “Kursi
Suci,” bermula dari upacara penobatan Uskup Roma, yaitu paus. Tepatnya,
cathedra, yang berarti kursi atau tahta, melambangkan kedudukan dan wewenang
Bapa Suci atau seorang uskup, dan tempat di mana ia tinggal dalam wilayah yang
termasuk wewenangnya. Di sini, Tahta Suci menunjuk pada “kursi pemerintahan”
Gereja universal. Secara geografis, kursi pemerintahan ini berada di Keuskupan
Roma. Dalam istilah pemerintahan yang sesungguhnya, Tahta Suci secara spesifik
menunjuk pada kedudukan Bapa Suci, yang “berdasarkan tugasnya, yakni sebagai
Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan
universal terhadap Gereja; dan kuasa itu selalu dapat dijalankannya dengan
bebas” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #22), dan diperluas hingga ke Kuria
Romawi, yang terdiri dari Sekretariat Negara atau Kepausan, Dewan Urusan Umum
Gereja, Kongregasi-kongregasi, Pengadilan-pengadilan, dan Lembaga-lembaga lainnya
(Kitab Hukum Kanonik, #360).
Istilah “Tahta Suci” juga disamaartikan dengan istilah “Tahta Apostolik”.
Kitab Hukum Kanonik mendefinisikannya sebagai berikut: “Dengan nama Tahta
Apostolik atau Tahta Suci dalam Kitab Hukum ini dimaksudkan bukan hanya Paus,
melainkan juga Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, Lembaga-lembaga
lain Kuria Romawi, kecuali jika dari hakikat perkara atau konteks
pembicaraannya ternyata lain” (Kitab Hukum Kanonik, #361).
Istilah “tahta,” berasal dari bahasa Latin “sedes,” sesungguhnya merupakan
istilah teknis bagi semua keuskupan dan tempat kediaman para uskup. Sebagai
contoh, Mgr Yohanes Hadiwikarta (alm) adalah uskup dari “Tahta Surabaya” dan
katedral kediamannya adalah Katedral Hati Kudus Yesus, juga di Surabaya; katedral
juga adalah tempat cathedra atau tahta uskup. Pada awalnya, sedes menunjuk pada
Gereja-gereja yang dibangun para rasul, dan di kemudian hari secara istimewa
terbatas pada lima tahta patriarkat besar: Roma, Kosntantinopel, Alexandria,
Antiokhia, dan Yerusalem; yang menarik, hingga saat ini, keempat Gereja-gereja
Patriarkal ini (Gereja-gereja Ortodoks Timur) mengakui keunggulan Roma dan
mengakui primat kehormatan Bapa Suci.
Pemahaman dan susunan ini tercermin dalam maklumat para paus. Sebagai
contoh, Paus Gelasius I (492-496) menyatakan, “Est ergo prima Petri apostoli
sedes” (“Karena itu, pertama-tama adalah Tahta Rasul Petrus”). Dalam Liber
Pontificalis oleh Paus Leo III (795-816), tercatat sebagai berikut, “Nos sedem
apostolicam, quae est caput omnium Dei ecclesiarum judicare non audemus” (“Kami
tidak berani mengadili Tahta Apostolik, yang adalah pemimpin dari segenap
Gereja-gereja Allah”). Jelas, istilah “Tahta Suci” dan “Tahta Apostolik”
mengalami perkembangan hingga secara spesifik menunjuk pada wewenang Bapa Suci
dan Keuskupan Roma.
Sungguh menarik bahwa setiap tanggal 22 Februari, Gereja merayakan Pesta
Tahta St Petrus. Merayakan pesta sebuah “kursi” terasa janggal, saat kita
pertama kali mendengarnya. Tetapi, “kursi” yang dimaksud menunjuk pada primat
dan wewenang yang dipercayakan Yesus Kristus kepada St Petrus, di mana keduanya
secara bersama-sama merupakan suatu kekuatan pemersatu bagi segenap Gereja;
jadi, sungguh, “Tahta Suci” yang sesungguhnya dirayakan dan dihormati. Primat
dan wewenang ini dilambangkan dengan kursi St Petrus yang ditempatkan dekat
dinding di belakang altar utama Basilika St Petrus, dalam suatu pahatan karya
seni oleh artis Bernini; pahatan tersebut merupakan wadah reliqui dari apa yang
secara tradisional diyakini sebagai kursi asli atau cathedra St Petrus. Lagi,
yang terpenting bukanlah hal keaslian kursi itu sendiri, melainkan apa yang
dilambangkan oleh kursi tersebut, yaitu Tahta Suci.
TAHTA
SANTO PETRUS
(See of Peter)
(See of Peter)
Pada tanggal 22 Februari, Gereja Katolik memperingati Pesta
Tahta Santo Petrus (see of Peter) "Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini
akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di
sorga" (Mat 16:18-19).
Gereja itu bersifat Apostolik dimana gereja itu harus menunjukkan (menampakkan) ciri-ciri rasuli (lih Ef 2:20) karena dibangun diatas para Rasul dengan Kristus sebagai batu Penjurunya, tentu pula dengan Petrus sebagai kepada dewan para rasul seperti yang Yesus sendiri kehendaki (bdk Mat 16:18-22;Yoh 21:15; Kis 2:14; dll). Konsekuensi dari gereja yang mempertahankan sifat gereja yang Apostolik adalah mempunyai suksesi apostolik, dengan adanya suksesi Apostolik maka kedudukan para rasul dan Petrus sebagai kepala dewan para rasul dapat tergantikan, dengan demikian kelangsungan Gereja dapat terjamin sesuai kehendak Yesus sendiri kepada Gerejanya (bdk Mat 28:20). Suksesi apostolik dalam Gereja perdana bisa kita lihat pada misalnya penggantian Yudas Iskariot oleh Matias (Kis 1), Pengangkatan beberapa diakon, dll. caranya itu dilakukan dengan penumpangan tangan (bdk Kis 6:6;Iti 5:22, dll). Suksesi Apostolik dipertahankan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, kita percaya bahwa meskipun alkitab tidak secara tegas menyatakan tentang suksesi Apostolik, tetapi alkitab memberikan gambaran tentang hal itu dan juga Tradisi Suci juga menegaskan hal yang sama [penjelasan tentang Tradisi suci lihat artikel "Apakah hanya Alkitab dasar iman Kita?"]. Gereja yang mempertahankan suksesi Apostolik, memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kesatuan dalam hal iman, ajaran, tata ibadat, hirarki, dll dimanapun komunitas itu berada, dimana Gereja sekarang sama seperti Gereja para rasul, dimana para jemaat bertekun dalam pengajaran para rasul (lih Kis 2:42). Dimana Gereja yang sekarang sama seperti Gereja pada masa Bapa-Bapa Gereja dan akan tetap sama sampai kepada akhir jaman.
Kembali ke masalah tahta Petrus (see of Peter), kita percaya bahwa pengganti Petrus sebagai Ketua dewan para rasul berada di Roma meskipun Petrus juga mendirikan Keuskupan di Anthiokia berikut salah satu contoh dari hasil konsili Sardica "[I]f any bishop loses the judgment in some case [decided by his fellow bishops] and still believes that he has not a bad but a good case, in order that the case may be judged anew . . . let us honor the memory of the Apostle Peter by having those who have given the judgment write to Julius, Bishop of Rome, so that if it seem proper he may himself send arbiters and the judgment may be made again by the bishops of a neighboring province" (canon 3 [A.D. 342]). Kita tidak dapat menyangkal bahwa See of Peter memiliki kewibawaan yang lebih daripada yang lain, karena Tahta ini merupakan tahta yang ditinggalkan Yesus untuk gerejanya dan Yesus menjamin bahwa Tahta ini tidak akan dikuasai oleh alam maut (lihat Matius 16:18-19). Bahkan sejak semulapun Tahta di Roma menjadi Tahta yang utama karena disanalah ada pengganti Petrus, hal itu ditegaskan dalam Konsili Konstantinopel I "The bishop of Constantinople shall have the primacy of honor after the bishop of Rome, because his city is New Rome" (canon 3 [A.D. 381]). Jabatan Petrus sebagai ketua dewan para rasul juga diwariskan kepada penggantinya yang bertahta di Roma, hal ini merupakan konsekuensi dari sifat gereja yang apostolik, klaim gereja Ortodoks bahwa semua Patriakh adalah pengganti Petrus secara rohani jelas tidak dapat diterima dalam sifat gereja yang apostolik, karena Gereja para rasul tidak memiliki banyak Petrus, tetapi hanya satu!! Dan kesaksian Bapa-Bapa Gereja menunjukkan bahwa Jabatan Petrus sebagai ketua dewan para rasul diwariskan kepada penggantinya yang bertahta di Roma. Dengan tidak diakuinya Tahta Petrus sebagai Tahta yang memiliki kewibawaan khusus membawa dampak bagi perkembangan dogma Gereja Ortodoks yang tertinggal jauh dengan Gereja Katolik (padahal benih-benih ajarannya sama dan merupakan Tradisi Apostolik, baik di Gereja Katolik ataupun Ortodoks) dan Gereja Ortodoks belum mampu mengadakan Konsili besar seperti yang Gereja Katolik lakukan, karena tidak adanya kepemimpinan yang memiliki senioritas diatas para Patriakh, sehingga sukar untuk mengadakan konsili besar. Kita melihat dari Gereja Protestan yang secara jelas menolak Primasi Paus bahkan yang paling parah menolak paham sakramen Imamat yang berarti kehilangan sifat Apostolik dari Gereja, kita lihat bagaimana mereka tidak memelihara Tradisi Suci, bahkan mengembangkan penafsiran bebas atas kitab suci sehingga menimbulkan perpecahan yang semakin parah atas tubuh Kristus, dan jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan yang ada pada jaman para rasul (lih Kis 2:42).
Gereja itu bersifat Apostolik dimana gereja itu harus menunjukkan (menampakkan) ciri-ciri rasuli (lih Ef 2:20) karena dibangun diatas para Rasul dengan Kristus sebagai batu Penjurunya, tentu pula dengan Petrus sebagai kepada dewan para rasul seperti yang Yesus sendiri kehendaki (bdk Mat 16:18-22;Yoh 21:15; Kis 2:14; dll). Konsekuensi dari gereja yang mempertahankan sifat gereja yang Apostolik adalah mempunyai suksesi apostolik, dengan adanya suksesi Apostolik maka kedudukan para rasul dan Petrus sebagai kepala dewan para rasul dapat tergantikan, dengan demikian kelangsungan Gereja dapat terjamin sesuai kehendak Yesus sendiri kepada Gerejanya (bdk Mat 28:20). Suksesi apostolik dalam Gereja perdana bisa kita lihat pada misalnya penggantian Yudas Iskariot oleh Matias (Kis 1), Pengangkatan beberapa diakon, dll. caranya itu dilakukan dengan penumpangan tangan (bdk Kis 6:6;Iti 5:22, dll). Suksesi Apostolik dipertahankan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, kita percaya bahwa meskipun alkitab tidak secara tegas menyatakan tentang suksesi Apostolik, tetapi alkitab memberikan gambaran tentang hal itu dan juga Tradisi Suci juga menegaskan hal yang sama [penjelasan tentang Tradisi suci lihat artikel "Apakah hanya Alkitab dasar iman Kita?"]. Gereja yang mempertahankan suksesi Apostolik, memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kesatuan dalam hal iman, ajaran, tata ibadat, hirarki, dll dimanapun komunitas itu berada, dimana Gereja sekarang sama seperti Gereja para rasul, dimana para jemaat bertekun dalam pengajaran para rasul (lih Kis 2:42). Dimana Gereja yang sekarang sama seperti Gereja pada masa Bapa-Bapa Gereja dan akan tetap sama sampai kepada akhir jaman.
Kembali ke masalah tahta Petrus (see of Peter), kita percaya bahwa pengganti Petrus sebagai Ketua dewan para rasul berada di Roma meskipun Petrus juga mendirikan Keuskupan di Anthiokia berikut salah satu contoh dari hasil konsili Sardica "[I]f any bishop loses the judgment in some case [decided by his fellow bishops] and still believes that he has not a bad but a good case, in order that the case may be judged anew . . . let us honor the memory of the Apostle Peter by having those who have given the judgment write to Julius, Bishop of Rome, so that if it seem proper he may himself send arbiters and the judgment may be made again by the bishops of a neighboring province" (canon 3 [A.D. 342]). Kita tidak dapat menyangkal bahwa See of Peter memiliki kewibawaan yang lebih daripada yang lain, karena Tahta ini merupakan tahta yang ditinggalkan Yesus untuk gerejanya dan Yesus menjamin bahwa Tahta ini tidak akan dikuasai oleh alam maut (lihat Matius 16:18-19). Bahkan sejak semulapun Tahta di Roma menjadi Tahta yang utama karena disanalah ada pengganti Petrus, hal itu ditegaskan dalam Konsili Konstantinopel I "The bishop of Constantinople shall have the primacy of honor after the bishop of Rome, because his city is New Rome" (canon 3 [A.D. 381]). Jabatan Petrus sebagai ketua dewan para rasul juga diwariskan kepada penggantinya yang bertahta di Roma, hal ini merupakan konsekuensi dari sifat gereja yang apostolik, klaim gereja Ortodoks bahwa semua Patriakh adalah pengganti Petrus secara rohani jelas tidak dapat diterima dalam sifat gereja yang apostolik, karena Gereja para rasul tidak memiliki banyak Petrus, tetapi hanya satu!! Dan kesaksian Bapa-Bapa Gereja menunjukkan bahwa Jabatan Petrus sebagai ketua dewan para rasul diwariskan kepada penggantinya yang bertahta di Roma. Dengan tidak diakuinya Tahta Petrus sebagai Tahta yang memiliki kewibawaan khusus membawa dampak bagi perkembangan dogma Gereja Ortodoks yang tertinggal jauh dengan Gereja Katolik (padahal benih-benih ajarannya sama dan merupakan Tradisi Apostolik, baik di Gereja Katolik ataupun Ortodoks) dan Gereja Ortodoks belum mampu mengadakan Konsili besar seperti yang Gereja Katolik lakukan, karena tidak adanya kepemimpinan yang memiliki senioritas diatas para Patriakh, sehingga sukar untuk mengadakan konsili besar. Kita melihat dari Gereja Protestan yang secara jelas menolak Primasi Paus bahkan yang paling parah menolak paham sakramen Imamat yang berarti kehilangan sifat Apostolik dari Gereja, kita lihat bagaimana mereka tidak memelihara Tradisi Suci, bahkan mengembangkan penafsiran bebas atas kitab suci sehingga menimbulkan perpecahan yang semakin parah atas tubuh Kristus, dan jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan yang ada pada jaman para rasul (lih Kis 2:42).
PEMILIHAN PAUS
I.
Pendahuluan
Sejarah pemilihan paus sudah dimulai
sejak pemilihan Paus kedua, Santo Linus. Proses pemilihan Paus mengalami
perkembangan yang signifikan sepanjang sejarah Gereja. Pada masa Gereja perdana
paus dipilih oleh para klerus yang tinggal di sekitar kota Roma sampai tahun
1059. Kemudian diberlakukan ketentuan baru yang dikeluarkan oleh Paus Alexander
III pada tahun 1179 yang menyatakan bahwa semua kardinal[1][1] memiliki suara yang sama dalam pemilihan Paus.
Satu abad kemudian, Paus Gregorius X
memutuskan bahwa kardinal harus bertemu dalam sepuluh hari setelah kematian
paus dan mereka harus berada dalam pengasingan yang ketat. Sejak abad XVI
ditetapkan prosedur pemilihan paus seperti yang digunakan hingga saat ini,
yaitu dengan menggunakan pemungutan suara.
Rangkaian suksesi Tahta Suci berawal
dari lowongnya Takhta Suci atau yang lebih dikenal dengan istilah Sede
vacante. Lowongnya Tahta Suci itu bisa disebabkan oleh dua hal, pertama,
Paus mengundurkan diri; kedua, lowong karena Paus wafat. Tradisi Gereja
menyebutkan bahwa masa kekosongan kekuasaan ini tak dapat lebih dari 20 hari
setelah seorang paus wafat atau mengundurkan diri. Dalam kurun 20 hari, para
kardinal harus memulai proses pemilihan Paus baru yang disebut konklaf. Berikut
akan coba kami jelaskan beberapa hal berkenaan dengan proses pemilihan Paus
yang baru.
II. Para Pemilih dan Calon
Paus
a. Peserta Konklaf
Dalam
Apostolik Constitusion Universi Dominici Gregis on the Vacancy of the
Apostolic See and the Election of the Roman Pontiff yang diterbitkan pada
Februari 1996, dinyatakan bahwa hanya para Kardinal Gereja Romawi Kudus yang
memiliki hak penuh untuk memilih Paus.[2][2] Mereka
tidak boleh memilih diri sendiri, tetapi boleh memilih siapa saja kardinal
lainnya sesuai kehendak hatinya sendiri.
Penetapan
bahwa hanya kardinal yang dapat mengikuti konklaf sebenarnya bukan aturan baru. Peraturan ini
sudah lama berlangsung setidak-tidaknya semenjak abad ke XVI. Sebelumnya yang
mengikuti pemilihan tidak hanya kardinal, tetapi juga mengikutsertakan kaisar,
kepala negara yang beragama katolik. Mulai abad XVI, penguasa-penguasa duniawi
ini tidak lagi terlibat di dalamnya. Ketika paus wafat maka semua kardinal dari
seluruh dunia menuju Vatikan tanpa harus diundang.[3][3]
Jumlah
peserta konklaf sudah ditentukan dalam konstitusi yakni 120 orang.[4][4] Selain
jumlah peserta, konstitusi juga menyebutkan bahwa kardinal yang masih punya hak
memilih dan dipilih menjadi Paus adalah kardinal yang belum berusia 80 tahun.
b. Calon Paus
Para
kardinal ini pada dasarnya sebenarnya adalah calon-calon Paus. Walaupun secara
teoritis paus terpilih tidak selalu berasal dari kalangan kardinal yang telah
menerima tahbisan uskup, namun kenyataannya salah satu dari para kardinal
pemilih itulah yang kemudian keluar sebagai Paus terpilih. Memang dalam sejarah
Gereja pernah ada paus yang terpilih justru di luar para kardinal seperti saat
pemilihan Paus Gregorius Agung, Gregorius VII, dan beberapa lagi yang lain. [5][5]
Dilihat dari peran dan domisilinya,
ada dua kategori para kardinal:
1. Para
kardinal yang berdomisili di negara Vatikan yang berperan sebagai kepala
Konggregasi (Departemen).
2. Para Kardinal yang memimpin
keuskupan.
Syarat calon Paus. Menarik
bila kita coba kembali menengok peristiwa bersejarah seputar hari-hari
pemilihan paus yang baru – untuk mengganti Alm. Paus Yohanes Paulus II – tahun
2005 yang lalu. Bagitu banyak spekulasi-spekulasi yang coba dimunculkan untuk
menebak siapa-siapa saja kardinal yang akan terpilih menjadi paus dengan
berbagai kriteria-kriteria yang menyertainya. Antusias masyarkat yang demikian,
rupanya tidak hanya terjadi pada lingkungan mereka yang beragama Katolik tetapi
juga umat masyarakat dunia, bahkan tidak sedikit dari para pemimpin negara pun
melakukan hal yang sama.
Fenomena-fenomena semacam ini
memperilihatkan kepada kita bahwa kerjasama dan keterlibatan paus sebagai
representasi agama katolik dan agama-agama lain dalam komitmen menegakkan
masalah-masalah kemanusiaan semakin erat mendalam. Peran dan sumbangan
pemikiran maupun keterlibatan paus (dan Gereja bersama agama-agama lain) dalam
masalah-masalah penting kehidupan dan kesejahteraan umat manusia semakin
penting secara global.[6][6] Selain
kualitas personal (Suci, cerdas, modern, dan bijak) mereka juga rata-rata
mengharapkan bahwa paus yang terpilih nantiya tidak hanya memikirkan
masalah-masalah doktrin dan ritual keagamaan, melainkan juga terlibat dalam
persoalan-persoalan strategi kehidupan. Persoalan-persoalan strategis itu,
misalnya, menyangkut penegakkan keadilan dan perdamaian, perlawanan terhadap
terorisme dan penindasan, sikap anti perang dan kekerasan, upaya mewujudkan
kesejahteraan dan mengatasi kemiskinan, bahkan menyangkut peruntuhan ideologi
dan praksis otorianisme kekuasaan.[7][7]
III. Tempat Konklaf
Rapat
tertutup para kardianal disebut juga konklaf/Conclave berdasarkan
ketentuan harus dilakukan di Kota Vatikan di tempat dan gedung yang telah
ditentukan pula untuk menyiapkan akomondasi para Kardinal pemilih dan mereka
yang secara sah dipanggil untuk bekerjasama dalam pemilihan tersebut.[8][8] Disebut
menjelang dimulainya proses pemilihan, para kardinal pemilih harus sudah
mengambil tempat penginapan di Domus Sanctae Marthae. Sebuah penginapan
yang baru didirikan di Vatikan.[9][9]
Sejak
awal pemilihan hingga pengumuman hasil ke publik ruang Domus Sanctae Marthae,
kapel Sistine (tempat pemilihan Paus) dan tempat-tempat yang disiapkan untuk
perayaan liturgis tertutup bagi orang luar. Hal ini dilakukan demi menjamin
kerahasiaan dan kebebasan para kardinal pemilih dalam menentukan pilihannya.[10][10]
Setiap
kali selesai pemungutan suara dari cerobong Kapel Sistine akan tampak keluar
asap yang menandakan apakah paus baru sudah terpilih atau belum. Bila asap yang
keluar berwarna hitam, itu berarti belum ada paus yang terpilih; tetapi apabila
berwarna putih pertanda sudah ada paus baru yang terpilih.
Konklaf
di Kapel Sistine pada zaman dulu belangsung sangat tertutup. Mereka, para
kardinal, masuk pada bilik kecil yang sederhana. Mereka tidak boleh keluar dari
bilik itu dan dilarang berhubungan dengan dunia luar. Namun, berdasarkan
konstitusi baru tahun 1996, para kardinal kini ditempatkan di Domus Sanctae
Marthae tempat yang jauh lebih nyaman.
Kapel
Sistine ini dibangun pada masa pemerintahan Paus Sixtus IV di abad XV.
Konsepnya adalah “kapel dari segala kapel” dan diresmikan pemakaiannya pada
tahun 1432. Kapel Sistine ini selama berabad-abad telah menjadi saksi biksu
setiap kali pemilihan paus berlangsung.
IV. Waktu Konklaf
dilangsungkan
Dalam
peraturan khusus disebutkan, bila acara pemakaman paus telah selesai dan segala
keperluan untuk memulai proses pemilihan paus baru sudah siap maka konklaf
ditetapkan, yakni 15 hari setelah wafatnya paus terdahulu, atau diperpanjang
tetapi tidak boleh melebihi 20 hari. Seluruh kardinal berkumpul di Basilika
Santo Petrus atau tempat lain untuk merayakan misa Votiv Pro Eligando Papa,
misa hening untuk menghormati paus yang baru meninggal. Parayaan misa dibuat
pada pagi hari karena sore itu juga dilanjutkan dengan rangkaian acara
pemilihan.[11][11]
Masih
pada hari itu, pada sore hari para kardinal pemilih berarak dari kapel Pauline,
ke Kapel Sistine sambil menyanyikan Veni Creator. Lagu ini untuk memohon
tuntunan Roh Kudus dalam proses
pemilihan Paus. Begitu tiba di Kapel Sistine para kardinal pemilih diambil
sumpahnya dengan cara, pemimpin kardinal atau kardinal tertua membacakan
rumusan sumpah yang diikuti para kardinal pemilih lainnya. Setelah itu pemimpin
perayan liturgi memberikan perintah: “extra Omnes” sehingga semua
kardinal yang tidak mengikuti konklaf harus meninggalkan Kapel Sistine.[12][12]
Setelah
kardinal yang tidak berhak mengikuti konklaf keluar dari kapel, maka para
kardinal pemilih mula-mula melakukan meditasi bersama. Setelah meditasi bersama
tersebut dilakukan, kardinal pemimpin menanyakan seluruh kardinal pemilih
apakah pemilihan dapat dimulai, atau barangkali masih ada keraguan mengenai
aturan dan prosedur pemilihan yang perlu diklarifikasi lagi. Bila mayoritas
pemilih menyatakan setuju dengan semua aturan dan prosedur yang ada, maka
pemilihan segera dimulai.[13][13]
Dalam konklaf setiap kardinal akan
mendengarkan “suara rahasia” yang dihembuskan: nama kardinal yang layak
menduduki Tahta Suci. Perhatian mereka, para kardinal, tertuju pada satu hal:
mendengarkan suara dari langit untuk kemudian memilih seorang kardinal sebagai
pemimpin tertinggi umat katolik, Sang Pelayan dan Pelayan Tuhan, Penerus dari
Santo Petrus dan Dia yang Memegang Cincin Sang Nelayan (Ring of the
Fisherman). [14][14]
V. Beberapa Hal yang harus
Diperhatikan dalam Pemilihan
Setiap orang termasuk kardinal, selama
paus terdahulu masih hidup dan tanpa berkonsultasi dengannya, dilarang membuat
rencana yang berhubungan dengan pemilihan paus atau menjanjikan suara atau
mengambil keputusan untuk maksud itu demi kepentingan mereka.[15][15]
Para
kardinal pemilih harus bebas dari segala bentuk perjanjian, persetujuan atau
berbagai komitmen lain dalam bentuk apapun yang mengharuskan memberi atau
menarik suara terhadap satu atau
beberapa orang.[16][16]
Selama
kekosongan Tahta Suci, terlebih lagi dalam pemilihan paus berlangsung, Gereja
disatukan secara istimewa oleh para gembala dan khususnya para kardinal
pemilih. Gereja meminta kepada Allah agar memberikannya paus baru.[17][17]
a. Kerahasiaan Proses Pemilihan
Para
kardinal pemilih dilarang menyebarkan kepada siapa pun secara langsung atau
tidak langsung informasi tentang voting dan segala materi diskusi keputusan
mengenai pemilihan paus dalam pertemuan-pertemun para kardinal pemilih. Baik
sesudah maupun sebelum pemilihan itu, kewajiban ini juga berlaku bagi kardinal yang
tidak termasuk sebagai kardinal pemilih namun masuk dalam anggota General
Congregations.[18][18]
Karena
itu selama proses pemilihan, kardinal Camerlengo[19][19] dan tiga
kardinal asisten secara ketat menjaga agar tidak terjadi pelanggaran atas
kerahasian proses pemilihan baik di Kapel Sistine tersebut baik sebelum,
selama, dan sesudah voting berlangsung.[20][20]
Salah
satu antisipasi yang dilakukan untuk mencegah pembocoran rahasia tersebut
adalah para kardinal pemilih tidak boleh berhubungan dengan dunia luar.
Walaupun dalam konstitusi terbaru ada kelonggaran dalam arti para kardinal
pemilih ini tidak diisolasi total. Ini sejarah baru dalam pemilihan paus. Hal
ini sudah diungkapkan oleh pejabat senior Vatikan, Monsinyur Piero Marini,
sebelum pemilihan dimulai. Tetapi mereka-para kardinal-tetap tidak
diperkenankan melakukan kontak dengan dunia luar.[21][21]
b. Cara Penghitungan Suara
Menurut
tata cara yang sudah baku dari dulu para kardinal yang hadir akan dibagikan
secarik kertas dengan tulisan Bahasa Latin, “Eligo in summum pontificem...”
(saya memilih....sebagai imam agung tertinggi). Setiap kardinal pemilih akan
menulis nama calon kecuali diri mereka sendiri dan kemudian memasukkan kertas
suara itu ke dalam sebuah piala. Surat suara itu kemudian dihitung. Suara yang
mendapatkan dua pertiga (2/3) dari jumlah anggota kardinal ditambah satu,
secara sah menjadi paus baru.[22][22]
Proses
voting dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, dinamakan tahap
pra-penyelidik yang masih terdiri atas tiga tahap lagi. Tahap kedua,
adalah tahap penyelidikan kelayakan. Tahap ini terdiri atas tiga tahap kecil,
yakni memasukkan kertas ke dalam wadah yang disiapkan. Menggabungkan dan menghitung
kertas suara dan memulai voting. Tahap ketiga atau tahap terakhir
post-penyelidikan juga terbagi dalam beberapa tahap yakni penghitungan suara,
pencocokan jumlah suara, pembakaran kertas suara. Dalam tahap ini, apabila
setelah para penyelidik melakukan penjumlahan ternyata tak satu nama pun yang
mendapat dua pertiga suara, paus baru belum terpilih; namun bila ada nama yang
mendapatkan dua pertiga suara, secara kanonis paus baru telah sah terpilih.[23][23]
Tiga
orang kardinal dipilih menjadi Scrutineers (pengawas). Tugas mereka
adalah mengumpulkan kartu pemungutan suara, membukanya dan membacanya dengan
keras. Mereka juga bertugas menusuk kartu pemungutan suara dengan jarum dan
menjahitnya menjadi satu.[24][24]
Jika
dalam proses tersebut belum ada yang memenuhi syarat maka surat suara itu
dikumpulkan dan dibakar dengan zat kimia tertentu agar keluarlah asap hitam di
atas cerobong Kapel Sistine. Selanjutnya akan diadakan pemilihan ulang dengan
mengikuti sistem pemilihan sebelumnya. Setiap hari diadakan empat babak
pemilihan. Jika dalam tiga hari pertama masih gagal, maka para kardinal
istirahat sehari. Hari ke empat dilanjutkan lagi pemilihan. Pemilihan itu dibatasi sampai 21 kali, dengan
waktu istirahat pada pilihan ke-7, ke-14, dan ke-21. [25][25]
Sudah
ditentukan pula bahwa pada hari pertama dilakukan satu kali pemungutan suara
dan pada hari-hari selanjutnya setiap hari dilakukan empat kali pemungutan
suara, dua pada pagi hari dan dua lagi pada sore hari.
c. Penerimaan dan Pengumuman Paus Baru
Artikel
87 mengatur tentang hal-hal yang dilakukan bila paus sudah terpilih secara
kanonis. Disebutkan, kardinal pimpinan atau kardinal paling senior atas nama
seluruh pemilih menanyakan kesediaannya untuk menerima tugasnya. Bila dia
bersedia akan di tanyakan pula nama yang akan disandangnya. Pimpinan liturgi
paus dalam hal ini bertindak sebagai notaris memanggil pengatur acara untuk
membawakan dokumen yang mengesahkan penerimaan jabatan oleh paus baru dan nama
yang dipilihnya.
Selanjutnya
bila kardinal terpilih menyatakan kesediaannya dan ternyata dia telah
mendapatkan tahbisan uskup, maka akan segera menjadi uskup Gereja Katolik Roma,
Paus dan pemimpin para Uskup. Ia dengan demikian memperoleh dan bisa
melaksanakan tugasnya secara penuh dan memiliki kuasa tertinggi atas Gereja
Universal. Tetapi jika seorang paus terpilih itu belum menjadi uskup (masih
sebagai Kardinal Diakon), ia harus
ditahbiskan menjadi uskup terlebih dahulu.[26][26]
Bila
semua acara/ritus yang ditentukan dalam Ordo ritum Conclavis (buku
panduan konklaf) telah selesai dilakukan, para kardinal pemilih mendekati paus
baru dengan cara-cara yang telah
ditentukan sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan. Sesudahnya, seorang kardinal
diakon senior akan mengumumkan kepada umat yang menunggu bahwa paus baru telah
terpilih. Ia mengumumkan paus baru dan paus baru segera tampil dan memberikan
berkat Urbi et Orbi dari Balkon Basilika Vatikan. Bila seorang terpilih
menjadi paus baru belum ditahbiskan menjadi uskup penghormatan tetap diberikan
kepadanya. Dan pengumuman publik hanya boleh dilakukan setelah ia ditahbiskan
menjadi uskup.[27][27] Ini sesuai
dengan ketentuan Hukum Kanonik (KHK) 1983 yang mempersyaratkan paus terpilih
yang belum menerima meterai tahbisan uskup, hendaknya ia segera ditahbiskan
menjadi uskup.[28][28] Bila Paus
terpilih berada diluar Vatikan tatacara dalam ordo Ritum harus
diperhatikan.[29][29] Konklaf
segera berakhir setelah paus baru menerima pemilihan atas dirinya.
Berkaitan
dengan terpilihnya paus baru maka kardinal yang tertua, yang memimpin sidang,
kecuali jika dia sendiri yang terpilih menjadi paus, maka pimpinan sidang yang
lain yakni kardinal termuda mengenalkan kepada umat di Basilika St. Petrus.
Biasanya rumusan inilah yang dipakai untuk mengenalkan Paus yang baru: “Saudara-saudara, yang Mulia Kardinal.... dari Negara....,
telah terpilih menjadi Paus baru dan beliau memilih nama : Sri Paus....”
dan kemudian umat pun berteriak Habemus Papam (kita telah mempunyai
Paus). [30][30]
Paus
yang baru akan memakai pakaian kebesaran yang terdiri dari: [31][31]
- Tiara yaitu mahkota berlapis tiga yang melambangkan bahwa paus di samping seorang Raja, juga dalam memerintah mewakili Allah Bapa, Putra dan Roh kudus.
- Cincin bergambar Petrus sedang menjala ikan yang melambangkan bahwa paus meneruskan pekerjaan Petrus.
- Tongkat melambangkan bahwa karya gembala seperti ditugaskan Yesus kepada Petrus memang sungguh diteruskan olehnya.
- Kasula merah, lambang Paus sebagai guru yang rela mengorbankan hidupnya (merah warna darah)
VI. Penutup
Demikianlah beberapa rangkaian
suksesi dalam pemilihan paus yang baru. Begitu banyak keistimewaan-keistimewaan
yang bisa kita temukan bersama. Bagi kita, mungkin masih segar mengingat
peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 2005 kemarin, pemilihan paus yang
baru begitu menyedot perhatian banyak masyarakat. Alangkah indahnya bila setiap
proses pemilihan pemimpin politik (entalah PilPres, pilihan Legislatif, Parpol,
maupun Pilkada) juga terjadi secara demikian. Proses demokrasi pun lantas
menjadi jernih dan suci karena ditopang oleh iman, doa, harapan dan kasih.
Tentu saja, praktik suap-menyuap pun harus dikikis habis. Mungkinkah ?
Sumber Buku:
- Kitab Hukum Kanonik (judul asli: Codex Iuris Canonici, 1983), diterjemahkan oleh V. Kartosiswoyo, Pr (Koordinator), Jakarta: Obor, 1991.
Paus
Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis yang dikeluarkan pada tanggal 22 Februari
1996, dan dipublikasikan tanggal 24 Februari 1996 dan menggantikan konstitusi Apostolik Romano
Pontifici Eligendo yang dipublikasikan oleh Paus Paulus VI tanggal 1
Oktober 1975.
- Jehani, Libertus., Bagaimana Memilih Paus?, Jakarta: Sinondang Media, 2005.
Catatan Kaki:
Kardinal dalam hierarki Gereja Katolik adalah pembantu dan
penasehat Paus. Diminta atau tidak diminta, Kardinal dapat memberikan masukan
kepada Paus berkaitan dengan ajaran iman moral Gereja Katolik. Peran ini sesuai
arti kata kardinal itu sendiri yaitu “cardo” (Latin) yang berarti
“engsel”. Kardinal diangkat sebagai penasehat dalam berbagai urusan gereja.
Seorang kardinal tidak hanya diangkat dari uskup tetapi bisa juga dari seorang
imam. Menurut teori kardinal itu bukan jabatan atau pangkat di atas Uskup.
tetapi dalam kenyataannya sekarang semua kardinal yang diangkat itu umumnya
Uskup atau Uskup Agung. Berdasarkan ketenteuan baru para
kardinal ini merupakan pemilih sekaligus calon paus. [Lih. Libertus Jehani, Bagaimana
Memilih Paus?, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hlm. 21; bdk. Kitab
Hukum Kanonik (Judul asli: Codeks Iuris Canonici, 1983), Kanon 349].